Memahami Cost Recovery yang Menguntungkan Kontraktor Migas

Industri migas (minyak dan gas) merupakan industri yang memiliki resiko tinggi. Umumnya resiko tersebut terjadi pada sektor hulu migas, yaitu eksplorasi, pengembangan, dan produksi. Jumlah pendapatan yang akan diperoleh dengan biaya yang sudah dikeluarkan sebelumnya harus diperhitungkan dengan matang oleh kontraktor migas sebelum memutuskan terlibat dalam kontrak migas.

Gambarannya seperti ini, sekitar 30% dari total biaya kontraktor migas dialokasikan untuk biaya eksplorasi dalam satu program. Dengan pengeluaran yang cukup besar tersebut, investasi di migas menjadi sebuah trade-off antara penerimaan negara dan insentif kontraktor untuk mengoperasikan sektor hulu migas.

Penerimaan kontraktor dan pendapatan negara yang terlalu kecil ini menurunkan minat kedua belah pihak. Sejak lama keduanya berusaha mencapai serangkaian sistem yang dapat menciptakan fair-share untuk kedua belah pihak.

Indonesia sudah memberlakukan sistem bagi hasil atas biaya operasional yang dikeluarkan kontraktor. Pemerintah mengatur dalam perundang-undangan bahwa ada kewajiban mengembalikan semua biaya operasional yang sudah dikeluarkan. Mekanisme disebut dengan cost-recovery.

Di Indonesia cost-recovery terbagi dalam dua komponen besar, yaitu biaya operasi dan biaya depresiasi harta berwujud. Kondisi ini berlaku ketika pemerintah belum mengembalikan biaya operasional tahun lalu, maka komponen ini dimasukkan pada tahun berjalan (tahun berikutnya). Biaya ini disebut dengan uncovered cost. Ada perbedaan antara biaya operasional dan biaya investasi. Biaya operasional meliputi biaya eksplorasi, eksploitasi dan administrasi umum. Sedangkan investasi adalah biaya pembelian harta berwujud, seperti pembelian alat berat untuk fasilitas produksi.

Menurut Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) nomor 29, biaya operasi dibagi menjadi dua metode, Full Cost atau Successful Efforts. Metode Full Cost mengharuskan bahwa semua biaya yang berhubungan dengan usaha menemukan cadangan komersil dapat dikapitalisasikan, meskipun hasilnya dry hole ( tidak ditemukan cadangan komersil). Sedangkan metode Successful Cost mengharuskan biaya-biaya yang dikeluarkan memberi manfaat untuk masa mendatang yang dapat dikapitalisasi, maksudnya ditemukan cadangan komersil.

Pemerintah Indonesia mengombinasikan dua metode tersebut melalui sistem PSC (Product Sharing Contract). Mengenai biaya penemuan cadangan, pemerintah membebankan biaya dry hole dan mengapitalisasi successful exploration. Sistem yang digunakan ini erat hubungannya dengan cost recovery karena biaya produksi yang dibebankan secara otomatis dipulihkan dalam mekanisme cost recovery. Biaya yang dikapitalisasi akan dimasukkan ke dalam biaya investasi.

Cost recovery yang diterapkan di Indonesia sebelum Undang Undang nomor 22 tahun 2001 menggunakan batas atas, yaitu biaya maksimal yang dapat dikembalikan pemerintah. Rasionya saat itu adalah 60:40. Namun, ketika muncul insentif untuk investasi, pemerintah menghapus batas atas dan sepenuhnya mengembalikan biaya operasional kontraktor migas.

Persentase masing-masing cost recovery terhadap pendapatan kotor sekitar 25% dan 30% pada tahun 2012-2013. Semua biaya tersebut pasti dikembalikan pemerintah Indonesia. Tapi ada asumsi bahwa biaya tersebut tidak sepenuhnya biaya riil yang terjadi, ada kemungkinan penekanan biaya. Tapi dengan tidak adanya ketentuan batas memberikan keleluasaan bagi kontraktor migas untuk mencantumkan biaya operasional sebesar mungkin.

Comments for this post are closed.